Senin, 02 Mei 2016

Bright Future:

MAKALAH
JUAL BELI & MU’AMALAH RABAWIYAH
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah studi fiqh

Dosen Pengampu
Eva Nur Lailatul Fitriyah, MA

          Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjU7nCBKaEDRt6rU8xnhg8gDaSx26ZXJMeFMNxrfHgAukoZVd2cxJnAWJ_0ozTKX3e7og77VDfCZeuscggMFaGsqc_C9e9W5qYRTHqRvujrwMjq_XGYfTgeBT06ZHlpXK2Cr5ntyl1b1axO/s1600/UIN+Maulana+Malik+Ibrahim+Malang.jpg
             Disusun Oleh :
                                       Ulil Huda                               (12660064)
            Ayu Tria N.M                         (13670059)


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016
KATA PENGANTAR

            Puji syukur  penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya,  penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “Jual Beli dan Mu’amalah Rabawiyah” untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqh.
            Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bisa menjadi salah satu sumber ilmu yang bermanfaat bagi pembaca.
            Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bahwasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
            Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh kalangan yang membutuhkan.



Wassalam,







DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.............................................................................................1
1.2  Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3  Tujuan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Jual Beli dalam Islam..................................................................................3
A.    Pengertian Jual Beli dan Hukumnya.....................................................3
B.     Rukun dan Syarat Jual Beli...................................................................5
C.     Ba’i Al-Ghaib.......................................................................................11
D.    Larangan Dalam Jual Beli....................................................................13
E.     Khiyar...................................................................................................14
2.2  Riba dan Kaitannya dengan Bank .............................................................21
A.    Pengertian Riba....................................................................................21
B.     Hukum Riba.........................................................................................24
C.     Hukum Muamalat dalam Bank............................................................25
BAB III PENUTUP
A.    Simpulan..............................................................................................32
B.     Saran....................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
       Manusia merupakan makhluk sosial, yang saling membutuhkan satu sama lain. Bagaimanapun sifat manusia tersebut, ia tak akan lepas dari hal-hal yang berhubungan dengan manusia lain. Katakanlah si A merupakan orang yang sangat pendiam, suka menyendiri dan tidak suka bergaul dengan orang lain. Namun, sudah dapat dipastikan bahwa si A tak akan bisa lepas dari“berhubungan” dengan manusia lain. Contoh sederhana saat ia pergi ke mini market untuk membeli barang, maka ia sudah masuk kedalam kategori berhubungan dengan orang lain. Dalam istilah fiqh, hubungan antara manusia satu dengan manusia lain disebut “Hablum minan naas”. Hubungan antar manusia ini, diatur dalam sebuah disiplin ilmu yang disebut “Fiqh Mu’amalah”. Salah satu cabang ilmu yang diatur oleh fiqh muamalah yaitu jual beli dan riba.
       Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap orang pasti melakukan suatu transaksi yang biasa disebut jual beli. Si penjual menjual barangnya dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang tersebut dengan sejumlah uang/barang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika pada zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas dalam satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi dan maraknya penggunaan internet kedua belah pihak dapat betransaksi dengan lancar.
       Bagaimana pula dengan riba? Secara sedehana riba merupakan tambahan uang/barang untuk suatu transaksi yang diisyaratkan sejak awal. Di dalam Islam, riba dalam bentuk apapun diharamkan sedangkan jual beli dihalalkan. Nah sebenarnya apa itu menurut Fiqih Muamalah seta apa saja yang temasuk kedalam riba? Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah hukumnya menurut Fiqih Muamalah? Hal ini sangat menarik untuk dibahas.
1.2  Rumusan Masalah
       Dari uraian diatas tentang jual beli dan riba, maka dirumuskan beberapa pertanyaan yang nantinya akan dibahas dalam pembahasan:
1.      Apa yang dimaksud dengan jual beli dalam Islam dan apa saja hal-hal terkait dengan jual beli?
2.      Apa itu muamalat rabawiyah dan bagaimana kaitannya dengan Bank Konvensional?

1.3  Tujuan
       Dari rumusan-rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan pembuatan makalah ini:
1.      Untuk mengetahui hal-hal terkait jual beli dalam Islam.
2.      Untuk mengetahui hal-hal terkait mu’amalat rabawiyah dan kaitannya dengan Bank










BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Jual Beli dalam Islam
2.1.1 Pengertian jual beli dan hukumnya
          Menurut etimologi, jual beli diartikan:
مقابلة الشئ بالشىء
Artinya: “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)
          Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam Alquran surah Fathir ayat 29 dinyatakan:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ  
Artinya: “ Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.”
(QS. Fathir: 29)
          Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama bebeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
“ Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)”
b. Menurut Imam Nawawi[2] dalam kitab Al-Majmu’:
“ Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”
c.  Menurut Ibnu Qudamah[3] dalam kitab Al-Mugni
“ Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik”
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah : "menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan"
Jual beli disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ yakni:
a.  Al-Qur’an
Description: C:\Users\USER\Pictures\ALBAQOROH.png
Artinya: “ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah: 275).
b. As-Sunnah
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ – رواه االبزار والحاكم

Artinya: “Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
    Maksud dari mabrur dalam hadits diatas adalah jual beli yang terhindar dari tipu menipu dan merugikan orang lain.
c.  Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian. Bantuan atau barang tersebut harus diganti dengan barang lain yang sesuai.
    Dapat disimpulkan bahwa hukum asal jual beli adalah boleh. Namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan hukumnya menjadi haram, mandub, makruh bahkan haram. Jual beli menjadi wajib hukumnya jika dalam keadaan terdesak misal, dia memiliki persediaan makanan yang lebih, dan ada orang lain yang sangat membutuhkannya, maka penguasa berhak memaksanya untuk menjual barangnya. Jual beli menjadi mandub hukumnya jika harga barang mahal, menjadi makruh seperti menjual mushaf, bisa juga jadi haram contohnya sepeti menjual anggur kepada pembuat arak.[4]
    Hal-hal terkait jual beli ini diatur dalam Fiqh Muamalah. Fiqh Muamalah membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual beli, hutang piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan sewa menyewa.
    Adapun prinsip prinsip dalam bermuamalah adalah sebagai berikut:
1.      Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
2.      Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur paksaan. Agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu diperhatikan.
3.      Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
4.      Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Bahwa segala bentuk muamalat yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.
2.1.2   Rukun dan Syarat Jual beli
Rukun dan syarat jual beli adalah:
1.      Penjual dan pembeli
Penjual dan pembeli haruslah seorang yang berakal sehat dan baligh. Jika penjual/pembeli tersebut mumayyiz (meskipun belum baligh), maka jual belinya sah jika ia mendapatkan izin dari walinya untuk melakukan transaksi jual beli. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, dan Ats-Tsauri. Dan hendaknya penjual merupakan pemilik sempurna barang yang akan dijual atau ia mendapatkan izin dari pemiliknya untuk menjualkan barang tersebut.
2.      Akad
Akad jual beli dianggap sah dengan segala hal yang menunjukkan tujuan jual beli, baik itu dengan perkataan maupun perbutan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
      Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya.
      Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem mu'athaah, (معاطاه) yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3.      Barang yang dijual
      Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a. Suci
Benda yang diperjual belikan harus benda yang suci dana arti bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara benda najis yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan[5] dan lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ:  إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih).
Bank Darah
Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.
      Kalau ada pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor, penyimpanan, pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual-beli darah, karena hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan najis, hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat berguna bagi para petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja bukan dengan akad jual-beli.
      Pihak petani hanya menanggung biaya penampungan kotoran, pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan harga kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual-bel
b. Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.
      Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
      Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.[6]
c.  Dimiliki oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau wakil.
      Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
      Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain.
        Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
      Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut :
Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya. (HR. Tirmizi - Hadits hasan)
      Walau pun banyak yang mengkritik bahwa periwayatan hadits ini lemah, namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.
      Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi'i membolehkan jual-beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
'Urwah ra berkata,"Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda,"Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu". (HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d. Bisa Diserahkan
Tidak boleh menjual barang yang tidak mampu diserahkan  seperti menjual burung diudara, ikan dalam air, unta yang lari, kuda yang hilang, atau harta yang dirampas, sesuai dengan hadis  Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra: “Nabi SAW melarang menjual barang yang ada unsur menipu.” Menjual hal yang tidak bisa diserahkan termasuk menipu (gharar).
      Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e.  Harus  Diketahui Keadaannya
Tidak boleh menjual barang yang tidak diketahui keadaannya. Maksud keadaan disini baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.
      Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli dilakukan meskipun hanya sampel. Agar tidak terjadi gharar.
      Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa ditetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
      Tidak diperbolehkan menjual jika zat, jumlah dan sifat pasti nya tidak diketahui, misal jika dikatakan “Saya jaul kepadamu satu dari dua baju ini”. Walau harganya sama, tapi tidak pasti barang mana yang akan dijual.
      Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
      Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tekhnik, misalnya:
-         Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
-         Dengan membuka bungkus barang sampel, atau garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.
4. Saling ridha
      Jual beli yang tidak disertai keridhaan di antara penjual dan pembeli, maka jual belinya tidak sah. Diriwayatkan dari Abu Sa‟id Al-Khudri.
Rasulullah SAW bersabda;
Description: C:\Users\USER\Pictures\ayat.png
 Sesungguhnya jual beli itu (atas dasar) saling ridha (suka sama suka).” (HR. Ibnu Majah : 2185. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Shahihul Jami‟
  1. Bai’ Al-Ghaib (Menjual Barang yang Tidak Ada Saat Jual Beli)
Menurut pendapat yang unggul tidak boleh menjual barang yang ghaib, yaitu barang yang tidak dilihat oleh kedua orang yang bertekad atau salah satunya, berbeda dengan tiga imam yang lain, walaupun ia menentukan akan segera menyerahkannya karena kabar tidak sama dengan melihat secara langsung. Pendapat ini berlaku jika barang yang dijual tidak diketahui ciri atau jenisnya, tapi jika jenis atau macamnya diketahui seperti dia mengatakan: “Saya jual kepadamu baju yang terbuat dari Yaman yang ada di dalam lemari rumahku, atau saya jual kepadamu kuda hitam yang ada di kandangku , ada dua pendapat ulama:
      Dalam qaul qadim-nya, Imam Syafi’i mengatakan: jual beli demikian sah, dan si pembeli berhak melakukan khiyar ketika dia melihatnya, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Mulaikah bahwa Usman r.a. membeli sebidang tanah di Kufah kemudian Usman berkata: “Aku menjual tanahku dengan tanahmu sedang saya belum melihatnya,” lalu Thalhah berkata:”yang berhak melihat itu adalah saya sebab saya membeli sesuatu yang belum saya lihat sedang kamu sudah melihat apa yang kamu beli,” lalu keduanya mengadukan masalah itu kepada Jubair bin Muth’im, dan Jubair memutuskan kepada Usman bahwa jual beli sah dan Thalhah berhak melihat karena dia membeli sesuatu yang ghaib dan karena ia satu bentuk tekad terhadap benda, maka boleh walaupun ada yang tidak diketahui tentang sifatnya sama seperti nikah.
      Sedangkan dalam qaul jadid-nya, Imam Syafi’i menyatakan tidak sah, dengan dalil hadis Abu Hurairah r.a: Bahwa Nabi SAW melarang menjual sesuatu yang tidak diketahui. Alasan lain, dalam akad ini ada unsur gharar, sebab ia termasuk dalam jual beli, maka tidak sah jika ada yang tidak diketahui dari sifatnya sama seperti jual beli sistem salam (ordering). Namun jika kita mengambil qaul qadim, apakah sahnya akad mengharuskan kita untuk menyebutkan semua sifat (ciri barang) atau tidak? Ada tiga pendapat:
1.      Tidak sah sampai semua sifat (ciri)nya disebutkan sebagaimana barang yang dipesan (musallam fihi).
2.      Tidak sah sampai sifat-sifat utamanya disebutkan.
3.      Sah dan tidak perlu menyebutkan sifatnya. Ini adalah pendapat yang dipilih dalam mazhab kami (Syafi’i) karena yang menjadi patokan adalah ru’yah (melihat) dan dia memiliki hak khiyar ketika melihat, sehingga tidak perlu menyebutkan cirinya.
       Jika diterangkan sifatnya lalu setelah melihat ternyata ada yang tidak sama, maka pada saat itu pembeli ada hak khiyar, namun jika sama atau lebih baik, maka ada dua pendapat. Pertama, tidak ada khiyar karena dia mendapatinya sama dengan yang dijelaskan sama seperti barang yang dipesan. Kedua, ada hak khiyar (sehingga ia bolehmeneruskan atau mebatalkan akad), karena dia tahu ada khiyar ru’yah, maka tidak boleh tanpa khiyar.

B.     Larangan Dalam Jual Beli
Larangan tidak selamanya membatalkan, namun terkadang ia juga dapat membatalkan. Larangan yang dimaksud dalam makalah ini adalah larangan yang membatalkan. Ia dapat terwujud jika pengharaman ditujukan pada akad itu sendiri, seperti hilangnya rukun. Diantaranya yaitu[7]:
1.      Jual Beli Sperma Hewan Jantan (Asbu Al-Fahl)
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari ibnu Amru yang artinya:
“Bahwasanya Nabi SAW melarang menjual sprema hewan ajntan.”
2.      Jual Beli Anak Hewan dalam Janin (Habl Al-Hablah)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu umar dengan lafal:”Rasul SAW melarang menjual Habl Al-Hablah. Hal ini juga berlaku pada janin manusia.
3.      Jual Beli Mulasamah dan Munabadzah
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan Abi Sa’id hadis ini dengan lafal: “Rasulullah melarang munabadzah dan mulasamah dalam jual beli”
4.      Jual Beli Hushat (dengan kerikil)
Maksudnya disini adalah, jika penjual melempar batu, maka jual beli menjadi wajib, dengan cara mengatakan:”Saya jual kepadamu baju-baju ini yang terkena lemparan batu.
5.      Jual Beli Al-‘Urbun
Maksudnya yaitu seseorang membeli satu barang dan memberi penjual sejumlah uang dengan syarat uang tersebut menjadi bayaran atas harga barang jika si pembeli rida dengan barang, kalau tidak maka barang dikembalikan atau status barang berubah jadi hibah.
6.      Dua jualan dalam Satu Akad
Contohnya seperti:”Saya jual kepadamu kuda ini dengan syarat kamu menjual rumahmu seharga seribu dinar atau kamu membeli rumahku dengan harga sekian”
7.      Menawar diatas tawaran orang lain
Haram, jika tawarn oleh orang yang petama dianggap sah. Jika tawaran dari orang petama tidak sah maka tidak haram. Seperti disebutkan dalam sabda Nabi SAW yang artinya:
“ Jangan seorang laki-laki menawar barang yang sedang ditawar oleh saudaranya”(HR. Muttafaq ‘alaihi)
Maksud hadis diatas adalah larangan melamar wanita yang sudah dilamar oleh orang lain. Namun jika lamaran pertama tidak sah, maka boleh.
C.    Khiyar
a.      Pengertian Khiyar
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan ( خار- يخير- خيرا- وخيارة ) yang sinonimnya: ((أعطاه ماهوخيرله yang artinya” memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik baginya”.
      Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.[8] Sayyid Sabiq memberikan definisi khiyar sebagai berikut.
Artinya: khiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskan (akad jual beli) atau membatalkannya.
      Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan penyesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu kalau pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya, kalau kedua belah pihak menghendakinya.[9]
      Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju.[10]
b.      Dasar Hukum Khiyar
      Berdasarkan prinsip wajib menegakkan kejujuran dan kebenaran dalam perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.[11]
      Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara sunnah tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Al-Harits:
Description: C:\Users\USER\Pictures\khiyar.png
Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari).[12]
      Disamping itu ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Umar dengan arti sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda:atau terjadi jual beli khiyar”. (HR. Al-Bukhari)[13]
      Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (aib) yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar   ditetapkan   oleh   syari‟at   Islam   bagi   orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqih adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.[14]

  1. Macam-Macam Khiyar
      Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syari’at Islam adalah adanya hak kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan atau membatalkan transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah untuk kemaslahatan bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi itu sendiri, memelihara kerukunan, hubungan baik serta menjalin cinta kasih di antara sesama manusia. Adakalanya seseorang sudah terlanjur membeli barang, sekiranya hak khiyar ini tidak ada, maka akan menimbulkan penyesalan salah satu pihak dan dapat menjurus pada kemarahan, kedengkian, dendam dan persengketaan dan juga perbuatan buruk lainnya yang dilarang oleh agama.
      Syari’at bertujuan melindungi manusia dari keburukan-keburukan itu, maka syari’at menetapkan adanya hak khiyar dalam rangka tegaknya keselamatan, kerukunan dan keharmonisan dalam hubungan antar manusia. [15] Berdasarkan dari hal tersebut ada beberapa macam khiyar yang perlu untuk diketahui. Adapun macam khiyar tersebut antar lain:
a.      Khiyar Majelis
Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai sempurna, berlaku dan wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan tempat berkumpul dan terjadinya akad apapun keadaan pihak yang berakad.[16] Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟ bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah.[17]
Dasar hukum khiyar majlis adalah hadist Al-Bukhari dari Ibnu Umar yang artinya:
Dari ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi saw: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar”. (HR. Al-Bukhari).[18]
Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah memalingkan badan untuk meninggalkan tempat transaksi. Pada prinsipnya khiyar majlis berakhir dengan adanya dua hal:
1.  Keduanya memilih akan terusnya akad
2.  Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.[19]
Tidak ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang mengatakan bolehnya khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang boleh, dan bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk mem-fasakh atau meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih meneruskan akad.[20]
b.      Khiyar Syarat
Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia bisa membatalkannya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah suatu bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.
Dasar hukum khiyar syarat adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Umar yang artinya:
“Dari Ibnu Umar r.a dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual beli, maka masing-masing pihak berhak melakukan khiyar, baik kedua-duanya maupun salah satunya. Apabila salah satu dari keduanya melakukan khiyar terhadap yang lainnya, kemudian mereka berdua melakukan jual beli atas dasar kesepakatan mereka, maka jual beli telah wajib dilaksanakan. Apabila mereka berpisah setelah melakukan jual beli dan salah satu pihak tidak meninggalkan jual beli, maka jual beli wajib dilaksanakan”.
(HR. Muttafaq alaih, dan redaksi dari Muslim).[21]
Khiyar syarat disyari’atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang berakad, atau  salah  satunya  dari  konsekuensi  satu  akad  yang kemungkinan di dalamnya  terdapat  unsur penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang yang berakad dalam masa khiyar syarat  dan  waktu  yang  telah  ditentukan  satu  kesempatan  untuk menunggu karena memang diperlukan. Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa khiyar syarat sah jika waktunya diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak termasuk barang yang cepat rusak dalam tempo ini.[22]
c.       Khiyar Aib
Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang diduga sebelumnya. Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang.
Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang mengakibatkan berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli dibidangnya.[23] Menurut ijma’ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh dilakukan pada waktu akad berlangsung, sebagaimana yang diterangkan dalam suatu hadis, yaitu hadis „Uqbah bin Amir r.a, dia berkata, “ Aku mendengar Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim yang lafaznya:
“Dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang muslim adalah saudaranya muslim lainnya, tidak halal bagi seorang muslim apabila menjual barang jualannya kepada muslim lain yang didalamnya ada cacat, melainkan ia harus menjelaskan (aib atau cacatnya) itu kepadanya”. ( HR. Al-Hakim dari „Uqbah Ibnu Amir).[24]
Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar setelahnya.[25]
Alasannya ia telah rela dengan barang tersebut beserta kondisinya. Namun jika pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut dan mengetahuinya setelah akad, maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli berhak melakukan khiyar antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi sesuai dengan adanya cacat.
Dimyauddin  Djuwaini  mengatakan  bahwa  khiyar aib  bisa dijalankan dengan syarat sebagai berikut:
1.      Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah terima, jika aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.
2.      Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.
3.      Pembeli tidak mengetahui adanya ‘aib atas obyek transaksi, baik ketika melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli mengetahui sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.
4.      Tidak ada persyaratan bara’ah (cuci tangan) dari  aib dalam kontrak jual beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
5.      Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad.[26]
Pembeli diperbolehkan memilih antara mengembalikan yang telah dibeli dan mengambil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh ganti apapun dari pihak penjual. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa pembeli tetap membawa barang yang dibelinya sedang penjual memberikan ganti rugi cacatnya kebanyakan fuqaha anshar membolehkannya.[27]
Hukum kerusakan barang baik yang rusak seluruhnya atau sebagian, sebelum akad dan sesudah akad terdapat beberapa ketentuan yaitu:
a.       Barang rusak sebelum diterima pembeli
1)      Barang rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, maka jual beli batal.
2)      Barang rusak oleh pembeli, maka akad tidak batal dan pembeli harus membayar.
3)      Barang rusak oleh orang lain, maka jual beli tidaklah batal, tetapi pembeli harus khiyar antara melanjutkan atau membatalkan akad jual beli.
b.        Jika barang rusak semuanya setelah diterima oleh pembeli
1)      Barang rusak dengan sendirinya atau rusak yang disebabkan oleh penjual, pembeli atau orang lain, maka jual beli tidaklah batal sebab barang telah keluar dari tanggung jawab penjual. Akan tetapi jika yang merusak orang lain, maka tanggungjawabnya diserahkan kepada perusaknya.
2)      Jika barang rusak oleh penjual maka ada dua sikap yaitu:
a)      Jika pembeli telah memegangnya baik dengan seizin penjual maupun tidak, tetapi telah membayar harga, maka penjual yang bertanggung jawab.
b)      Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga belum diserahkan, maka akad menjadi batal.
c.       Barang rusak sebagian setelah dipegang oleh pembeli
1)      Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya ataupun orang lain.
2)      Jika disebabkan oleh pembeli, maka perlu dilihat dari dua segi. Jika dipegang atas seizin penjual, hukumnya sama seperti barang yang dirusak oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas seizinnya, maka jual beli batal atas barang yang dirusaknya.[28]
d.      Khiyar Ru’yah
Khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.
Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa.
Sedangkan menurut Imam Syafi‟i khiyar ru‟yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula dianggap tidak sah.
Syarat Khiyar Ruyah bagi yang membolehkannya antara lain:
a.    Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
b.   Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat transaksi.
c.    Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.[29]
2.2      Riba dan Kaitannya dengan Bank
2.2.1 Pengertian Riba
          Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah). Dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta.
          Adapun menurut ahli fiqh riba adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa adanya ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba didalamnya, melainkan keuntungan jual. Hanya saja tambahan dengan istilah “Riba” yang diharamkan dalam Al-Qur’an menerangkan pengharamannya karena tambahan yang diambil itu adalah sebagai ganti dari tempo. Misal seseorang menjual barang kepada orang lain secara terhutang hingga tempo tetentu, dan jika jatuh waktu tempo dan belum dibayar akan dinaikkan jumlah hutangnya serta melambatkan tempo[30].
          Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba Al-Fadhl dan riba An-Nasa'. Sedangkan Imam As-Syafi'i membaginya menjadi tiga, yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa' dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma' berdasarkan nash Al Qur'an dan hadits Nabi" (Az Zawqir Ala Iqliraaf al Kabaair vol. 2 him. 205).
          Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Fokus kepada riba dalam jual beli yaitu :
Riba Fadhl
Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan "barang ribawi".
          Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).
          Apakah riba fadhl hanya berlaku pada harta yang disebukan dalam hadis saja? Ulama bereda pendapat mengenai masalah ini. Menurut pendapat Syafi’iyyah, alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah alat tukar jual beli, maka dengan ini hukum penukaran uang dengan uang pun harus sama kadar/konversinya. Sedangkam komoditi lainnya seperti garam dan sebagainya adalah sebagai bahan makanan. Jadi tukar menukar barang yang sejenis dimana barang itu termasuk bahan makanan, berlaku hukum riba jika tidak sama kadarnya. Namun menurut ulama Syafi’iyyah jika tukar menukar barang yang tidak sejenis misal gandum dengan jagung, maka tidak dikenai hukum riba meskipun ada tambahan[31].
·         Emas : Barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
·         Perak : Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
·         Gandum : Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
·         Terigu : Demikian juga barter terigu dengan teriguhukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
·         Kurma :  Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
·         Garam
Riba Nasi’ah
Nasi'ah bersal dari kata nasa'  yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Contoh : Yuka ingin membeli rumah. Dia meminjam uang kepada bank sebesar 200 juta dengan bunga 14 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.
2.2.2   Hukum Riba
Riba adalah salah satu dari 7 dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ :  اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ  قَالُوا : وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاَللَّهِ  وَالسِّحْرُ  وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إلَّا بِالْحَقِّ  وَأَكْلُ الرِّبَا  وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ  وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ  وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ  . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para shahabat bertanya,"Apa saja ya Rasulallah?". "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menuduh zina. (HR. Muttafaq alaihi)
          As-Sarakhsy berkata bahwa seorang yang makan riba akan mendapatkan lima dosa atau hukuman sekaligus. Yaitu At-Takhabbut, Al-Mahqu, Al-Harbu, Al-Kufru dan Al-Khuludu fin-Naar.
·         At-Takhabbut : Kesurupan seperti kesurupannya syetan.
·         Al-Mahqu : Dimusnahkan oleh Allah keberkahan hartanya
·         Al-Harbu : Diperangi oleh Allah SWT
·         Al-Kufru : dianggap kufur dari perintah Allah SWT. Dan dianggap keluar dari agama Islam apabila menghalalkannya. Tapi bila hanya memakannya tanpa mengatakan bahwa riba itu halal, dia berdosa besar.
·         Al-Khuludu fin-Naar : yaitu kekal di dalam neraka, sekali masuk tidak akan pernah keluar lagi dari dalamnya
2.2.3         Hukum Muamalat dalam Bank
A.    Kredit dan Kartu Kredit
Kredit dibolehkan dalam hukum jual-beli secara Islami. Kredit adalah membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai tunai dengan bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah : bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil. Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan.
Namun sebagai syarat harus dipenuhi ketentuan berikut :
1.      Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian. Misalnya : harga rumah 100 juta bila dibayar tunai dan 150 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun. 
2.      Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku. 
      Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan) Untuk lebih jelasnya agar bisa dibedakan antara sistem kredit yang dibolehkan dan yang tidak.
      Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM mengatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenankan. Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo untuk nafkah keluarganya. 
      Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.
      Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual-beli kredit ini, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual-beli kredit tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemaksaan dan kezaliman. 
      Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram. Imam Syaukani berkata: "Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat." 
Kartu Kredit
Di zaman ini berbelanja dengan menggunakan kartu kredit memberikan banyak kelebihan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Masalah keamanan. 
      Seseorang tidak perlu membaya uang tunai / cash kemana-mana. Cukup membawa sebuah kartu kredit dan biasanya kartu itu bisa diterima dimanapun di belahan dunia ini. Seseorang tidak perlu merasa khawatir untuk kecopetan, kecurian atau kehilangan uang tunainya. Bahkan bila kartu kredit ini hilang, seseorang cukup menghubungi penerbit kartu itu dan dalam hitungan detik kartu tersebut akan diblokir. 
b.      Masalah kepraktisan. 
      Membawa uang tunai apalagi dalam jumlah yang besar tentu sangat tidak praktis. Dengan kartu kredit seseorang bisa membawa uang dalam jumlah besar hanya dalam sebuah kartu. Ketiga, masalah akses. Beberapa toko dan perusahaan tertentu hanya menerima pembayaran melalui kartu kredit. Misalnya toko online di internet yang sangat mengandalkan pembayaran dengan kartu kredit. Kita tidak bisa membeli sebuah produk di amazon.com dengan mengirim wessel pos. 
      Tapi kartu kredit juga tidak bisa dipakai dengan segala kondisi. Selain itu dengan maraknya kasus carding atau pemalsuan kartu kredit di internet terutama dari Indonesia, sampai-sampai transaksi online bila pemesannya dari Indonesia tidak akan dilayani. Pada dasarnya, prinsip kartu kredit ini memberikan uang pinjaman kepada pemegang kartu untuk berbelanja di tempat-tempat yang menerima kartu tersebut. Setiap kali seseorang berbelanja, maka pihak penerbit kartu memberi pinjaman uang untuk membayar harga belanjaan. 
      Untuk itu seseorang akan dikenakan biaya beberapa persen dari uang yang dipinjamnya yang menjadi keuntungan pihak penerbit kartu kredit. Biasanya uang pinjaman itu bila segera dilunasi dan belum jatuh tempo tidak atau belum  dikenakan bunga, yaitu selama masa waktu tertentu misalnya satu bulan dari tanggal pembelian. 
      Tapi bila telah lewat satu bulan itu dan tidak dilunasi, maka akan dikenakan bunga atas pinjaman tersebut yang besarnya bervariasi antara masing-masing perusahaan. Jadi bila dilihat secara syariah, kartu kredit itu mengandung dua hal. Pertama, pinjaman tanpa bunga yaitu bila dilunasi sebelum jatuh tempo. Kedua, pinjaman dengan bunga yaitu bila dilunasi setelah jatuh tempo. 
      Bila seseorang bisa menjamin bahwa tidak akan jatuh pada opsi kedua, maka menggunakan kartu kredit untuk berbelanja adalah halal hukumnya. Tapi bila sampai jatuh pada opsi kedua, maka menjadi haram hukumnya karena menggunakan praktek riba yang diharamkan oleh Allah SWT.
B.    Bunga Bank
Riba secara mutlak telah diharamkan oleh Allah swt dan Rasuluullah saw memalui ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Diantara nash-nash itu adalah :
1. Al-Quran
Al-Quran mengharamkan riba dalam empat marhalah / tahap. Doktor Wahbat Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan tahapan pengharam riba adalah sebagai berikut
- Tahap Pertama
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(QS. Ar-Ruum : 39 )
Ayat ini turun di Mekkah dan menjadi tamhid diharamkannya riba dan urgensi untuk menjauhi riba.
Tahap Kedua
فبظلم من الذين هادوا حرمنا عليهم طيبات أحلت لهم وبصدهم عن سبيل الله كثيرا. وأخذهم الربا وقد نهوا عنه وأكلهم أموال الناس بالباطل وأعتدنا للكافرين منهم عذابا أليما
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. (QS. An-Nisa : 160-61)
Ayat ini turun di Madinah dan menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan dihukum Allah. Ayat ini merupakan peringatan bagi pelaku riba.
- Tahap Ketiga
يآأيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة واتقوا الله للكم تفلحون
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Ali Imran : 130)
Pada tahap ini Al-Quran mengharamkan jenis riba yang bersifat fahisy, yaitu riba jahiliyah yang berlipat ganda.
- Tahap Keempat
يآأيها الذين آمنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من الربا إن كنتم مؤمنين . فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وإن تبتم فلكم رؤس أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Al-Baqarah : 278-279)
Pada tahap ini Al-Quran telah mengharamkan seluruh jenis riba dan segala macamnya. Alif lam pada kata (الربا) mempunyai fungsi lil jins, maksudnya diharamkan semua jenis dan macam riba dan bukan hanya pada riba jahiliyah saja atau riba Nasi'ah. Hal yang sama pada alif lam pada kata (البيع) yang berarti semua jenis jual-beli.
2. As-Sunah
As-Sunnah juga menjelaskan beberapa praktek riba dan larangan bagi pelakunya : Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama .
Dalam hadits lain disebutkan :
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa,'Ayahku membeli budak yang kerjanya membekam. Ayahku kemudian memusnahkan alat bekam itu. Aku bertanya kepaa ayah mengapa beliau melakukannya. Beliau menjawab bahwa Rasulullah saw. Melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta melaknat pembuat gambar.
Dengan dalil-dalil qoth'i di atas, maka sesungguhnya tidak ada celah bagi umat Islam untuk mencari-cari argumen demi menghalalkan riba. Karena dali-dalil itu sangat sharih dan jelas. Bahkan ancaman yang diberikan tidak main-main karena Allah memerangi orang yang menjalankan riba itu.
Pendapat yang mengharamkan bunga bank
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c :
-          bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal
-          bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
-           
2. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
3. Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah menyepakati dua hal : Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
4. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Diantara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof . Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa', Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.














BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Berdasarkan pada pembahasan dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.      Hukum asal jual beli adalah mubah, namun bisa menjadi wajib, mandub, makruh aau haram dengan kondisi tertentu.
2.      Allah mengharamkan segala jenis paktek riba berdasarkan alasan yang sudah dipaparkan dalam pembahasan.
3.2  Saran
Makalah ini masih belum sempurna jika dilihat dari penulisan maupun isi. Diharapkan kepada pembaca untuk mengambil yang baik dalam makalah ini.
           










DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafiz.2010.Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira

Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, 2007.Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj. “Bidayatul Mujtahid”, Jakarta: Pustaka Amani

Alaudin Al-Kasyani, Bada’I Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-syarai’. Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir

Al-Fiqihul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-zuhaili jilid 4

Azharudin Lathif, 2005.Fiqh Muamalat.Jakarta: UIN Jakarta Press
Aziz MA, Abdul.  2009.Fiqh Ibadah.Jakarta :Amzah

Dewi ,Gemala. 2005 .Hukum Perikatan Islam di Indonesia Cet. Ke
                 1,Jakarta:Prenada Media Ya‟qub

Dimyauddin Djuwaini. 2008.Pengantar fiqh muamalah..Yogyakarta :Pustaka
            Pelajar


Hamzah.1992.Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Bandung: CV.Diponegoro
Ibnu Qudamah. Al-Mugni. Mathba’ah Al-Imam, Mesir
Kifayatul Akhyar
Mughni Al-Muhtaj jilid 2

Muhammad Asy-Syarbini. Mugni al-muhtaj.

Rahmat Syafi‟i, 2001.Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia
Sayyid Sabiq. 2011.Fiqih Sunnah.Semarang Pena Publishing

Shohih Imam Bukhori

Sudarsono, 1992.Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta

Wahbah Zuhaili, 2010 Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar Cet. Ke-1, Terj. Muhammad Afifi,
Wardi Muslich,Ahmad,Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Sinar Grafika



[1] Alaudin Al-Kasyani, Bada’I Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-syarai’. Juz V hlm.133
[2] Muhammad Asy-Syarbini. Mugni al-muhtaj. Juz II. hlm 2
[3] Ibnu Qudamah. Al-Mugni. Juz III. Hlm 559
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam.  op.cit.  hlm 89-90
[5] Mazhab Hanbali menetapkan bahwa kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan, hukumnya tidak najis.
[6] Kifayatul Akhyar jilid 1 halaman 236
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam.  op.cit.  hlm.44-80
[8] Ibid.  hlm. 25.
[9] Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 408.
[10] Ahmad Wardi Muslich. op.cit.  hlm. 216.
[11] Hamzah Ya‟qub.  op. cit.  hlm. 153.
[12] Imam Bukhori, op.cit. hlm. 26.
[13] Imam Bukhori, Ibid. hlm. 25.
[14] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta:Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005, hlm. 80.
[15] Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Bandung: CV.Diponegoro, 1992, hlm. 101.
[16] Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 177.
[17] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, “ Fiqih Imam Syafi‟i”, Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676.
[18] Imam Bukhori, loc.cit. hlm. 25.
[19] Sudarsono, op.cit. hlm. 410.
[20] Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit.hlm. 194.
[21] Imam Bukhori. loc.cit. hlm. 25.
[22] Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 111.
[23] Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm. 98.
[24] Ahmad Wardi Muslih. op.cit. hlm. 233.
[25] Sayyid Sabiq. op. cit. hlm. 161.
[26] Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm.99.
[27] Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj. “Bidayatul Mujtahid”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm.815.
[28] Rahmat Syafi‟i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 90.
[29] Sayyid Sabiq. op.cit. hlm. 158.
[30] Abdul Aziz Muhammad Azzam.  op.cit. hlm. 217
[31] Rahcmat Syafe’i, Fiqh Muamalah. Hlm 267-268