Bright Future
Senin, 02 Mei 2016
Bright Future:
MAKALAH
JUAL BELI & MU’AMALAH RABAWIYAH
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata
kuliah studi fiqh
Dosen Pengampu
Eva Nur Lailatul Fitriyah, MA
Disusun Oleh :
Ulil Huda (12660064)
Ayu
Tria N.M (13670059)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, sang pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat
aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta
inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan
makalah berjudul “Jual Beli dan Mu’amalah Rabawiyah” untuk memenuhi tugas mata
kuliah Studi Fiqh.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak
yang telah mendukung dan membantu penulisan makalah ini. Semoga makalah ini
bisa menjadi salah satu sumber ilmu yang bermanfaat bagi pembaca.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana
penulis pun sadar bahwasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput
dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan Azza
Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis
nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik
ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan
sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca,
dan bagi seluruh kalangan yang membutuhkan.
Wassalam,
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Jual
Beli dalam Islam..................................................................................3
A. Pengertian
Jual Beli dan Hukumnya.....................................................3
B. Rukun
dan Syarat Jual Beli...................................................................5
C. Ba’i
Al-Ghaib.......................................................................................11
D. Larangan
Dalam Jual
Beli....................................................................13
E. Khiyar...................................................................................................14
2.2 Riba
dan Kaitannya dengan Bank
.............................................................21
A. Pengertian
Riba....................................................................................21
B. Hukum
Riba.........................................................................................24
C. Hukum
Muamalat dalam
Bank............................................................25
BAB III PENUTUP
A. Simpulan..............................................................................................32
B. Saran....................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial, yang saling membutuhkan satu
sama lain. Bagaimanapun sifat manusia tersebut, ia tak akan lepas dari hal-hal
yang berhubungan dengan manusia lain. Katakanlah si A merupakan orang yang
sangat pendiam, suka menyendiri dan tidak suka bergaul dengan orang lain.
Namun, sudah dapat dipastikan bahwa si A tak akan bisa lepas dari“berhubungan”
dengan manusia lain. Contoh sederhana saat ia pergi ke mini market untuk
membeli barang, maka ia sudah masuk kedalam kategori berhubungan dengan orang
lain. Dalam istilah fiqh, hubungan antara manusia satu dengan manusia lain
disebut “Hablum minan naas”. Hubungan antar manusia ini, diatur dalam
sebuah disiplin ilmu yang disebut “Fiqh Mu’amalah”. Salah satu cabang ilmu yang
diatur oleh fiqh muamalah yaitu jual beli dan riba.
Untuk memenuhi kebutuhan
hidup setiap hari, setiap orang pasti melakukan suatu transaksi yang biasa
disebut jual beli. Si penjual menjual barangnya dan si pembeli membelinya
dengan menukarkan barang tersebut dengan sejumlah uang/barang yang disepakati
oleh kedua belah pihak. Jika pada zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara
langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual
beli sudah tidak terbatas dalam satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi dan
maraknya penggunaan internet kedua belah pihak dapat betransaksi dengan lancar.
Bagaimana pula dengan
riba? Secara sedehana riba merupakan tambahan uang/barang untuk suatu transaksi
yang diisyaratkan sejak awal. Di dalam Islam, riba dalam bentuk apapun
diharamkan sedangkan jual beli dihalalkan. Nah sebenarnya apa itu menurut Fiqih
Muamalah seta apa saja yang temasuk kedalam riba? Lalu apakah jual beli yang
dipraktekkan pada zaman sekarang sah hukumnya menurut Fiqih Muamalah? Hal ini
sangat menarik untuk dibahas.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas
tentang jual beli dan riba, maka dirumuskan beberapa pertanyaan yang nantinya
akan dibahas dalam pembahasan:
1.
Apa
yang dimaksud dengan jual beli dalam Islam dan apa saja hal-hal terkait dengan jual
beli?
2.
Apa itu
muamalat rabawiyah dan bagaimana kaitannya dengan Bank Konvensional?
1.3 Tujuan
Dari rumusan-rumusan
masalah diatas dapat diketahui tujuan pembuatan makalah ini:
1.
Untuk
mengetahui hal-hal terkait jual beli dalam Islam.
2.
Untuk
mengetahui hal-hal terkait mu’amalat rabawiyah dan kaitannya dengan Bank
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jual Beli dalam Islam
2.1.1 Pengertian jual beli dan hukumnya
Menurut etimologi,
jual beli diartikan:
مقابلة الشئ
بالشىء
Artinya: “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)
Kata lain dari al-ba’i
adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Berkenaan
dengan kata at-tijarah, dalam Alquran surah Fathir ayat 29 dinyatakan:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا
الصَّلاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً
لَنْ تَبُورَ
Artinya: “ Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang
tidak akan rugi.”
(QS. Fathir: 29)
Adapun jual beli
menurut terminologi, para ulama bebeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara
lain:
a.
Menurut
ulama Hanafiyah[1]:
“ Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus
(yang dibolehkan)”
b.
Menurut
Imam Nawawi[2]
dalam kitab Al-Majmu’:
“ Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”
c.
Menurut
Ibnu Qudamah[3]
dalam kitab Al-Mugni
“ Pertukaran harta dengan harta,
untuk saling menjadikan milik”
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan jual-beli adalah : "menukar barang dengan barang atau menukar
barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu
kepada yang lain atas dasar saling merelakan"
Jual beli disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan ijma’
yakni:
a.
Al-Qur’an
Artinya: “ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah: 275).
b.
As-Sunnah
سُئِلَ النَّبِيُّ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ عَمَلُ
الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ – رواه االبزار والحاكم
Artinya: “Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling
baik. Beliau menjawab, ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual
beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn
Rafi’)
Maksud dari mabrur
dalam hadits diatas adalah jual beli yang terhindar dari tipu menipu dan
merugikan orang lain.
c.
Ijma’
Ulama telah
sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan
mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian.
Bantuan atau barang tersebut harus diganti dengan barang lain yang sesuai.
Dapat disimpulkan bahwa hukum asal jual beli
adalah boleh. Namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan hukumnya menjadi
haram, mandub, makruh bahkan haram. Jual beli menjadi wajib hukumnya jika dalam
keadaan terdesak misal, dia memiliki persediaan makanan yang lebih, dan ada
orang lain yang sangat membutuhkannya, maka penguasa berhak memaksanya untuk
menjual barangnya. Jual beli menjadi mandub hukumnya jika harga barang mahal,
menjadi makruh seperti menjual mushaf, bisa juga jadi haram contohnya sepeti
menjual anggur kepada pembuat arak.[4]
Hal-hal terkait jual beli ini diatur dalam
Fiqh Muamalah. Fiqh Muamalah membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan
tindakan manusia dalam persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual beli,
hutang piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan
tanah, dan sewa menyewa.
Adapun prinsip prinsip dalam bermuamalah
adalah sebagai berikut:
1.
Pada
dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh
al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam memberi kesempatan luas
perkembangan bentuk dan macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan
kebutuhan hidup masyarakat.
2.
Muamalat
dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur paksaan. Agar kebebasan
kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu diperhatikan.
3.
Muamalat
dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat
dalam hidup masyarakat.
4.
Muamalat
dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur
penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Bahwa segala
bentuk muamalat yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.
2.1.2
Rukun dan Syarat Jual beli
Rukun dan
syarat jual beli adalah:
1.
Penjual
dan pembeli
Penjual dan
pembeli haruslah seorang yang berakal sehat dan baligh. Jika penjual/pembeli tersebut
mumayyiz (meskipun belum baligh), maka jual belinya sah jika ia mendapatkan
izin dari walinya untuk melakukan transaksi jual beli. Ini adalah pendapat
Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, dan Ats-Tsauri. Dan hendaknya penjual merupakan
pemilik sempurna barang yang akan dijual atau ia mendapatkan izin dari
pemiliknya untuk menjualkan barang tersebut.
2.
Akad
Akad jual beli
dianggap sah dengan segala hal yang menunjukkan tujuan jual beli, baik itu
dengan perkataan maupun perbutan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu
Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin.
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu
harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan
termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad
jual-beli dengan sistem mu'athaah, (معاطاه) yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk
bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3.
Barang
yang dijual
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang
diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan
itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli
menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu :
a. Suci
Benda yang diperjual belikan harus benda yang suci dana arti bukan benda najis atau
mengandung najis. Di antara benda najis yang disepakati para ulama antara lain
bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan[5]
dan lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ
اَلْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar
Rasulullah saw. bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu:
”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan
berhala”. (HR. Muttafaq Alaih).
Bank Darah
Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak
boleh didapat dari jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah
menegaskan bahwa bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli.
Lembaga itu pun tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada pembayaran, bukan termasuk kategori
memperjual-belikan darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah
dari para donor, penyimpanan, pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain
yang dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual-beli darah, karena
hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya
ulama dikatakan najis, hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran
itu sangat berguna bagi para petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu
mereka tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan
saja bukan dengan akad jual-beli.
Pihak petani hanya menanggung biaya penampungan
kotoran, pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan
harga kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual-bel
b. Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara
umum dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau
sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak
jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti
kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan,
burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut
dengan alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan orang
dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak
bisa memberikan manfaat apapun, maka jual-beli alat musik itu batil. Karena
alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan
mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti
tambur, seruling, rebab dan lainnya.[6]
c. Dimiliki oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung
suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau
wakil.
Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah)
adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan,
maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang
yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain.
Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk
kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi,
dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai
wakil dari pemilik barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan
wali atau wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan
pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah sebagai
berikut :
Tidak sah
sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu
kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah
penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah
sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak
berkewajiban atasnya. (HR. Tirmizi - Hadits hasan)
Walau pun banyak yang mengkritik bahwa
periwayatan hadits ini lemah, namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi
hadits shahih.
Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam
Asy-syafi'i membolehkan jual-beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi
hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya.
Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali
atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka
jual-beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah
dianggap sah.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
'Urwah ra berkata,"Rasulullah SAW memberi aku
uang 1 Dinar untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan
untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu
aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil aku
ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda,"Semoga Allah memberkatimu dalam
perjanjianmu". (HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d. Bisa Diserahkan
Tidak boleh
menjual barang yang tidak mampu diserahkan
seperti menjual burung diudara, ikan dalam air, unta yang lari, kuda
yang hilang, atau harta yang dirampas, sesuai dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
ra: “Nabi SAW melarang menjual barang yang ada unsur menipu.” Menjual hal yang
tidak bisa diserahkan termasuk menipu (gharar).
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan
bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan
kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e. Harus Diketahui Keadaannya
Tidak boleh
menjual barang yang tidak diketahui keadaannya. Maksud keadaan disini baik dari
segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu harus
dilihat oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli dilakukan meskipun
hanya sampel. Agar tidak terjadi gharar.
Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa ditetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau
pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Tidak diperbolehkan menjual jika zat,
jumlah dan sifat pasti nya tidak diketahui, misal jika dikatakan “Saya jaul
kepadamu satu dari dua baju ini”. Walau harganya sama, tapi tidak pasti barang
mana yang akan dijual.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli
melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula
dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa
pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang
dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar
terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak
menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui
keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tekhnik, misalnya:
-
Dengan membuat daftar spesifikasi barang
secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang data-data
produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik
dan lainnya.
-
Dengan membuka bungkus barang sampel, atau garansi yang memastikan
pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.
4.
Saling
ridha
Jual beli yang tidak
disertai keridhaan di antara penjual dan pembeli, maka jual belinya tidak sah.
Diriwayatkan dari Abu Sa‟id Al-Khudri.
Rasulullah SAW bersabda;
“Sesungguhnya jual beli itu (atas dasar) saling ridha (suka sama suka).”
(HR. Ibnu Majah : 2185. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Shahihul
Jami‟
- Bai’
Al-Ghaib (Menjual Barang yang Tidak Ada Saat Jual Beli)
Menurut
pendapat yang unggul tidak boleh menjual barang yang ghaib, yaitu barang
yang tidak dilihat oleh kedua orang yang bertekad atau salah satunya, berbeda
dengan tiga imam yang lain, walaupun ia menentukan akan segera menyerahkannya
karena kabar tidak sama dengan melihat secara langsung. Pendapat ini berlaku
jika barang yang dijual tidak diketahui ciri atau jenisnya, tapi jika jenis
atau macamnya diketahui seperti dia mengatakan: “Saya jual kepadamu baju yang
terbuat dari Yaman yang ada di dalam lemari rumahku, atau saya jual kepadamu
kuda hitam yang ada di kandangku , ada dua pendapat ulama:
Dalam qaul qadim-nya, Imam Syafi’i
mengatakan: jual beli demikian sah, dan si pembeli berhak melakukan khiyar ketika
dia melihatnya, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Mulaikah bahwa
Usman r.a. membeli sebidang tanah di Kufah kemudian Usman berkata: “Aku menjual
tanahku dengan tanahmu sedang saya belum melihatnya,” lalu Thalhah
berkata:”yang berhak melihat itu adalah saya sebab saya membeli sesuatu yang
belum saya lihat sedang kamu sudah melihat apa yang kamu beli,” lalu keduanya
mengadukan masalah itu kepada Jubair bin Muth’im, dan Jubair memutuskan kepada
Usman bahwa jual beli sah dan Thalhah berhak melihat karena dia membeli sesuatu
yang ghaib dan karena ia satu bentuk tekad terhadap benda, maka boleh walaupun
ada yang tidak diketahui tentang sifatnya sama seperti nikah.
Sedangkan dalam qaul jadid-nya, Imam
Syafi’i menyatakan tidak sah, dengan dalil hadis Abu Hurairah r.a: Bahwa Nabi
SAW melarang menjual sesuatu yang tidak diketahui. Alasan lain, dalam
akad ini ada unsur gharar, sebab ia termasuk dalam jual beli, maka tidak
sah jika ada yang tidak diketahui dari sifatnya sama seperti jual beli sistem
salam (ordering). Namun jika kita mengambil qaul qadim, apakah
sahnya akad mengharuskan kita untuk menyebutkan semua sifat (ciri barang) atau
tidak? Ada tiga pendapat:
1.
Tidak sah sampai semua sifat (ciri)nya
disebutkan sebagaimana barang yang dipesan (musallam fihi).
2.
Tidak sah sampai sifat-sifat utamanya
disebutkan.
3.
Sah dan tidak perlu menyebutkan sifatnya. Ini
adalah pendapat yang dipilih dalam mazhab kami (Syafi’i) karena yang menjadi
patokan adalah ru’yah (melihat) dan dia memiliki hak khiyar
ketika melihat, sehingga tidak perlu menyebutkan cirinya.
Jika diterangkan sifatnya lalu setelah
melihat ternyata ada yang tidak sama, maka pada saat itu pembeli ada hak khiyar,
namun jika sama atau lebih baik, maka ada dua pendapat. Pertama, tidak
ada khiyar karena dia mendapatinya sama dengan yang dijelaskan sama
seperti barang yang dipesan. Kedua, ada hak khiyar (sehingga ia
bolehmeneruskan atau mebatalkan akad), karena dia tahu ada khiyar ru’yah,
maka tidak boleh tanpa khiyar.
B.
Larangan Dalam
Jual Beli
Larangan tidak
selamanya membatalkan, namun terkadang ia juga dapat membatalkan. Larangan yang
dimaksud dalam makalah ini adalah larangan yang membatalkan. Ia dapat terwujud
jika pengharaman ditujukan pada akad itu sendiri, seperti hilangnya rukun.
Diantaranya yaitu[7]:
1.
Jual Beli Sperma Hewan Jantan (Asbu Al-Fahl)
Disebutkan
dalam Shahih Al-Bukhari dari ibnu Amru yang artinya:
“Bahwasanya
Nabi SAW melarang menjual sprema hewan ajntan.”
2.
Jual Beli Anak Hewan dalam Janin (Habl
Al-Hablah)
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dari Ibnu umar dengan lafal:”Rasul SAW melarang menjual Habl
Al-Hablah. Hal ini juga berlaku pada janin manusia.
3.
Jual Beli Mulasamah dan Munabadzah
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim dan Abi Sa’id hadis ini dengan lafal: “Rasulullah
melarang munabadzah dan mulasamah dalam jual beli”
4.
Jual Beli Hushat (dengan kerikil)
Maksudnya
disini adalah, jika penjual melempar batu, maka jual beli menjadi wajib, dengan
cara mengatakan:”Saya jual kepadamu baju-baju ini yang terkena lemparan batu.
5.
Jual Beli Al-‘Urbun
Maksudnya yaitu
seseorang membeli satu barang dan memberi penjual sejumlah uang dengan syarat
uang tersebut menjadi bayaran atas harga barang jika si pembeli rida dengan
barang, kalau tidak maka barang dikembalikan atau status barang berubah jadi
hibah.
6.
Dua jualan dalam Satu Akad
Contohnya
seperti:”Saya jual kepadamu kuda ini dengan syarat kamu menjual rumahmu seharga
seribu dinar atau kamu membeli rumahku dengan harga sekian”
7.
Menawar diatas tawaran orang lain
Haram, jika
tawarn oleh orang yang petama dianggap sah. Jika tawaran dari orang petama
tidak sah maka tidak haram. Seperti disebutkan dalam sabda Nabi SAW yang
artinya:
“ Jangan
seorang laki-laki menawar barang yang sedang ditawar oleh saudaranya”(HR.
Muttafaq ‘alaihi)
Maksud hadis
diatas adalah larangan melamar wanita yang sudah dilamar oleh orang lain. Namun
jika lamaran pertama tidak sah, maka boleh.
C.
Khiyar
a.
Pengertian
Khiyar
Khiyar dalam arti
bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan ( خار- يخير- خيرا- وخيارة ) yang sinonimnya: ((أعطاه ماهوخيرله yang artinya” memberikan kepadanya
sesuatu yang lebih baik baginya”.
Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari
dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.[8] Sayyid Sabiq memberikan definisi khiyar sebagai berikut.
Artinya: khiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara,
berupa meneruskan (akad jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar
itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara pembeli dan
penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena
dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan penyesalan kepada salah seorang
dari pembeli atau penjual yaitu kalau pedagang mengharap barangnya segera laku,
tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau
kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak
senang hatinya kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh
karena itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua
belah pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua
pihaknya, kalau kedua belah pihak menghendakinya.[9]
Dari
definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa khiyar
adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat
cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau
karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal
setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju.[10]
b.
Dasar Hukum Khiyar
Berdasarkan prinsip
wajib menegakkan kejujuran dan kebenaran dalam perdagangan, maka haram bagi
penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila dalam barang yang akan dijual itu
terdapat cacat yang diketahui oleh pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia
menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat
barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.[11]
Khiyar hukumnya boleh
berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara sunnah tersebut adalah hadis
yang diriwaytkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Al-Harits:
Artinya: Dari Abdullah bin
al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi saw beliau
bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua
belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua
diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong
dan merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR.
Al-Bukhari).[12]
Disamping itu ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari
Ibnu Umar dengan arti sebagai berikut:
“Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual dan pembeli boleh
melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan
kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda:atau terjadi jual beli
khiyar”. (HR. Al-Bukhari)[13]
Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apalagi apabila
dalam barang yang dibeli terdapat cacat (aib)
yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan
oleh syari‟at Islam
bagi orang-orang yang melakukan
transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan,
sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan
sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqih adalah disyari’atkan atau
dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada
pihak yang merasa tertipu.[14]
- Macam-Macam
Khiyar
Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syari’at Islam adalah
adanya hak kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan atau
membatalkan transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah untuk kemaslahatan bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi itu sendiri,
memelihara kerukunan, hubungan baik serta menjalin cinta kasih di antara sesama
manusia. Adakalanya seseorang sudah terlanjur membeli barang, sekiranya hak khiyar ini tidak ada, maka akan
menimbulkan penyesalan salah satu pihak dan dapat menjurus pada kemarahan,
kedengkian, dendam dan persengketaan dan juga perbuatan buruk lainnya yang
dilarang oleh agama.
Syari’at bertujuan melindungi manusia dari keburukan-keburukan itu,
maka syari’at menetapkan adanya hak khiyar
dalam rangka tegaknya keselamatan, kerukunan dan keharmonisan dalam hubungan
antar manusia. [15]
Berdasarkan dari hal tersebut ada beberapa macam khiyar yang perlu untuk
diketahui. Adapun macam khiyar tersebut antar lain:
a.
Khiyar Majelis
Majlis
secara bahasa adalah bentuk masdar mimi
dari julus yang berarti tempat duduk,
dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah tempat kedua
orang yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai sempurna, berlaku dan
wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan tempat berkumpul dan
terjadinya akad apapun keadaan pihak yang berakad.[16]
Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟
bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di tempat transaksi.
Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti jual beli
makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah.[17]
Dasar
hukum khiyar majlis adalah hadist Al-Bukhari dari Ibnu Umar yang artinya:
“Dari ibnu Umar r.a ia berkata: Telah
bersabda Nabi saw: Penjual dan
pembeli boleh melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah, atau salah
seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau
bersabda: atau terjadi jual beli khiyar”. (HR. Al-Bukhari).[18]
Ketika
jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan khiyar antara
membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau menentukan
pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah memalingkan badan
untuk meninggalkan tempat transaksi. Pada prinsipnya khiyar majlis berakhir dengan adanya dua hal:
1.
Keduanya
memilih akan terusnya akad
2.
Di
antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.[19]
Tidak
ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang mengatakan bolehnya khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang boleh, dan
bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk mem-fasakh atau
meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih meneruskan
akad.[20]
b.
Khiyar Syarat
Menurut
Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah
suatu khiyar dimana seseorang membeli
sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar pada masa atau waktu tertentu,
walaupun waktu tersebut lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan
jual beli dan apabila ia mengendaki ia bisa membatalkannya.
Dari
definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar
syarat adalah suatu bentuk khiyar
dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan persyaratan bahwa
dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh memilih antara
meneruskan jual beli atau membatalkannya.
Dasar
hukum khiyar syarat adalah hadist
yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Umar yang artinya:
“Dari Ibnu Umar r.a dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Apabila
dua orang melakukan jual beli, maka masing-masing pihak berhak melakukan
khiyar, baik kedua-duanya maupun salah satunya. Apabila salah satu dari
keduanya melakukan khiyar terhadap yang lainnya, kemudian mereka berdua
melakukan jual beli atas dasar kesepakatan mereka, maka jual beli telah wajib
dilaksanakan. Apabila mereka berpisah setelah melakukan jual beli dan salah
satu pihak tidak meninggalkan jual beli, maka jual beli wajib dilaksanakan”.
(HR.
Muttafaq alaih, dan redaksi dari Muslim).[21]
Khiyar syarat disyari’atkan
untuk menjaga kedua belah pihak yang berakad, atau salah
satunya dari konsekuensi
satu akad yang kemungkinan di dalamnya terdapat
unsur penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang yang
berakad dalam masa khiyar syarat dan
waktu yang telah
ditentukan satu kesempatan
untuk menunggu karena memang diperlukan. Kalangan ulama fiqih sepakat
bahwa khiyar syarat sah jika waktunya
diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak termasuk
barang yang cepat rusak dalam tempo ini.[22]
c.
Khiyar Aib
Khiyar
aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah
(berkurangnya nilai penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan
kriteria yang diduga sebelumnya. Khiyar
aib merupakan hak pembatalan jual beli dan pengembalian barang akibat
adanya cacat dalam suatu barang yang belum diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah
transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang.
Yang
mengakibatkan terjadinya khiyar
disini adalah aib yang mengakibatkan
berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli
dibidangnya.[23]
Menurut ijma’ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh dilakukan pada
waktu akad berlangsung, sebagaimana yang diterangkan dalam suatu hadis, yaitu
hadis „Uqbah bin Amir r.a, dia berkata, “ Aku mendengar Rasulullah bersabda
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim yang lafaznya:
“Dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
Seorang muslim adalah saudaranya muslim lainnya, tidak halal bagi seorang
muslim apabila menjual barang jualannya kepada muslim lain yang didalamnya ada
cacat, melainkan ia harus menjelaskan (aib atau cacatnya) itu kepadanya”. ( HR.
Al-Hakim dari „Uqbah Ibnu Amir).[24]
Jika akad telah
dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut, maka
akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar setelahnya.[25]
Alasannya ia
telah rela dengan barang tersebut beserta kondisinya. Namun jika pembeli belum
mengetahui cacat barang tersebut dan mengetahuinya setelah akad, maka akad
tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli berhak melakukan khiyar antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi sesuai
dengan adanya cacat.
Dimyauddin Djuwaini
mengatakan bahwa khiyar
aib bisa dijalankan dengan syarat
sebagai berikut:
1.
Cacat
sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah terima, jika
aib muncul setelah serah terima maka
tidak ada khiyar.
2.
Aib tetap melekat
pada obyek setelah diterima oleh pembeli.
3.
Pembeli
tidak mengetahui adanya ‘aib atas
obyek transaksi, baik ketika melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika
pembeli mengetahui sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.
4.
Tidak
ada persyaratan bara’ah (cuci tangan)
dari aib dalam kontrak jual beli, jika
dipersyaratkan, maka hak khiyar
gugur.
Pembeli
diperbolehkan memilih antara mengembalikan yang telah dibeli dan mengambil
harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh ganti apapun dari
pihak penjual. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa pembeli tetap membawa
barang yang dibelinya sedang penjual memberikan ganti rugi cacatnya kebanyakan fuqaha anshar membolehkannya.[27]
Hukum
kerusakan barang baik yang rusak seluruhnya atau sebagian, sebelum akad dan
sesudah akad terdapat beberapa ketentuan yaitu:
a.
Barang
rusak sebelum diterima pembeli
1)
Barang
rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, maka jual beli batal.
2)
Barang
rusak oleh pembeli, maka akad tidak batal dan pembeli harus membayar.
3)
Barang
rusak oleh orang lain, maka jual beli tidaklah batal, tetapi pembeli harus khiyar antara melanjutkan atau
membatalkan akad jual beli.
b.
Jika
barang rusak semuanya setelah diterima oleh pembeli
1)
Barang
rusak dengan sendirinya atau rusak yang disebabkan oleh penjual, pembeli atau
orang lain, maka jual beli tidaklah batal sebab barang telah keluar dari
tanggung jawab penjual. Akan tetapi jika yang merusak orang lain, maka
tanggungjawabnya diserahkan kepada perusaknya.
2)
Jika
barang rusak oleh penjual maka ada dua sikap yaitu:
a)
Jika
pembeli telah memegangnya baik dengan seizin penjual maupun tidak, tetapi telah
membayar harga, maka penjual yang bertanggung jawab.
b)
Jika
penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga belum diserahkan, maka
akad menjadi batal.
c.
Barang
rusak sebagian setelah dipegang oleh pembeli
1)
Tanggung
jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya ataupun orang lain.
2)
Jika
disebabkan oleh pembeli, maka perlu dilihat dari dua segi. Jika dipegang atas
seizin penjual, hukumnya sama seperti barang yang dirusak oleh orang lain. Jika
dipegang bukan atas seizinnya, maka jual beli batal atas barang yang
dirusaknya.[28]
d.
Khiyar Ru’yah
Khiyar
ru'yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya
ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika
berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu yang
memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.
Konsep
khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan
Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau
benda yang belum pernah diperiksa.
Sedangkan
menurut Imam Syafi‟i khiyar ru‟yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena
menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak
semula dianggap tidak sah.
Syarat Khiyar
Ruyah bagi yang membolehkannya antara lain:
a.
Barang
yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat
berupa harta tetap atau harta bergerak.
b.
Barang
dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat
transaksi.
c.
Tidak
melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan
barang dagangan tersebut tidak berubah.[29]
2.2
Riba dan Kaitannya dengan Bank
2.2.1
Pengertian Riba
Secara bahasa riba
berarti tambahan (ziyadah). Dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang
disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara
harta dengan harta.
Adapun menurut ahli
fiqh riba adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa
adanya ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba karena
tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba
didalamnya, melainkan keuntungan jual. Hanya saja tambahan dengan istilah
“Riba” yang diharamkan dalam Al-Qur’an menerangkan pengharamannya karena
tambahan yang diambil itu adalah sebagai ganti dari tempo. Misal seseorang
menjual barang kepada orang lain secara terhutang hingga tempo tetentu, dan
jika jatuh waktu tempo dan belum dibayar akan dinaikkan jumlah hutangnya serta
melambatkan tempo[30].
Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi
menjadi dua, yaitu riba Al-Fadhl dan riba An-Nasa'. Sedangkan Imam As-Syafi'i membaginya
menjadi tiga, yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa' dan riba Al-Yadd. Dan
Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba
ini diharamkan secara ijma' berdasarkan nash Al Qur'an dan hadits Nabi"
(Az Zawqir Ala Iqliraaf al Kabaair vol. 2 him. 205).
Secara garis besar
bisa dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu riba hutang-piutang dan riba
jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah.
Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba
nasi’ah. Fokus kepada riba dalam jual beli yaitu :
Riba Fadhl
Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam
masalah barter atau tukar menukar benda. Namun bukan dua jenis benda yang
berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang
berbeda. Dan jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja,
tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut
dengan "barang ribawi".
Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama
beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi
harus tunai (HR Muslim).
Apakah riba fadhl
hanya berlaku pada harta yang disebukan dalam hadis saja? Ulama bereda pendapat
mengenai masalah ini. Menurut pendapat Syafi’iyyah, alasan berlakunya riba pada
emas dan perak karena keduanya adalah alat tukar jual beli, maka dengan ini hukum
penukaran uang dengan uang pun harus sama kadar/konversinya. Sedangkam komoditi
lainnya seperti garam dan sebagainya adalah sebagai bahan makanan. Jadi tukar
menukar barang yang sejenis dimana barang itu termasuk bahan makanan, berlaku
hukum riba jika tidak sama kadarnya. Namun menurut ulama Syafi’iyyah jika tukar
menukar barang yang tidak sejenis misal gandum dengan jagung, maka tidak
dikenai hukum riba meskipun ada tambahan[31].
·
Emas : Barter emas dengan emas hukumnya
haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak
boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah
dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
·
Perak : Barter perak dengan perak hukumnya
haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar
yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak200 yang kadarnya lebih
rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
·
Gandum : Barter gandum dengan gandum
hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg gandum
kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas
nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda
itu.
·
Terigu : Demikian juga barter terigu dengan
teriguhukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu
kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas
nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda
itu.
·
Kurma :
Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya
berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak boleh ditukar langsung
dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu
masing-masing benda itu
·
Garam
Riba Nasi’ah
Nasi'ah bersal dari kata nasa' yang artinya penangguhan. Sebab riba ini
terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita
kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada
pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya
pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi'ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Contoh : Yuka ingin membeli
rumah. Dia meminjam uang kepada bank sebesar 200 juta dengan bunga 14 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini,
yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini
adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.
2.2.2
Hukum
Riba
Riba
adalah salah satu dari 7 dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Sebagaimana hadits berikut ini :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا : وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟
قَالَ : الشِّرْكُ بِاَللَّهِ
وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إلَّا بِالْحَقِّ
وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ
الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ
الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ . مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda,"Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para
shahabat bertanya,"Apa saja ya Rasulallah?". "Syirik kepada
Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan
riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menuduh zina. (HR.
Muttafaq alaihi)
As-Sarakhsy
berkata bahwa seorang yang makan riba akan mendapatkan lima dosa atau hukuman
sekaligus. Yaitu At-Takhabbut, Al-Mahqu, Al-Harbu, Al-Kufru dan Al-Khuludu
fin-Naar.
·
At-Takhabbut : Kesurupan seperti kesurupannya
syetan.
·
Al-Mahqu : Dimusnahkan oleh Allah keberkahan
hartanya
·
Al-Harbu : Diperangi oleh Allah SWT
·
Al-Kufru : dianggap kufur dari perintah Allah
SWT. Dan dianggap keluar dari agama Islam apabila menghalalkannya. Tapi bila
hanya memakannya tanpa mengatakan bahwa riba itu halal, dia berdosa besar.
·
Al-Khuludu fin-Naar : yaitu kekal di dalam
neraka, sekali masuk tidak akan pernah keluar lagi dari dalamnya
2.2.3
Hukum
Muamalat dalam Bank
A. Kredit dan Kartu Kredit
Kredit
dibolehkan dalam hukum jual-beli secara Islami. Kredit adalah membeli barang
dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai tunai dengan
bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah : bai` bit taqshid atau
bai` bits-tsaman `ajil. Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat
bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang sudah dipastikan nilainya
(y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan.
Namun
sebagai syarat harus dipenuhi ketentuan berikut :
1.
Harga
harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian.
Misalnya : harga rumah 100 juta bila dibayar tunai dan 150 juta bila dibayar
dalam tempo 5 tahun.
2.
Tidak
boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan
sebagaimana yang sering berlaku.
Pembayaran cicilan disepakati kedua belah
pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai` gharar
(penipuan) Untuk lebih jelasnya agar bisa dibedakan antara sistem kredit yang
dibolehkan dan yang tidak.
Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM
mengatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenankan.
Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo
untuk nafkah keluarganya.
Ada sementara pendapat yang mengatakan
bahwa bila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang
kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka haram
hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu berhubung masalah waktu dan itu
sama dengan riba.
Tetapi jumhur (mayoritas) ulama
membolehkan jual-beli kredit ini, karena pada asalnya boleh dan nash yang
mengharamkannya tidak ada. Jual-beli kredit tidak bisa dipersamakan dengan riba
dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga
menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemaksaan dan
kezaliman.
Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas
hukumnya haram. Imam Syaukani berkata: "Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaid
bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil
yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat."
Kartu Kredit
Di zaman ini berbelanja dengan menggunakan
kartu kredit memberikan banyak kelebihan. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Masalah
keamanan.
Seseorang tidak perlu membaya uang tunai /
cash kemana-mana. Cukup membawa sebuah kartu kredit dan biasanya kartu itu bisa
diterima dimanapun di belahan dunia ini. Seseorang tidak perlu merasa khawatir
untuk kecopetan, kecurian atau kehilangan uang tunainya. Bahkan bila kartu
kredit ini hilang, seseorang cukup menghubungi penerbit kartu itu dan dalam
hitungan detik kartu tersebut akan diblokir.
b.
Masalah kepraktisan.
Membawa uang tunai apalagi dalam jumlah
yang besar tentu sangat tidak praktis. Dengan kartu kredit seseorang bisa
membawa uang dalam jumlah besar hanya dalam sebuah kartu. Ketiga, masalah
akses. Beberapa toko dan perusahaan tertentu hanya menerima pembayaran melalui
kartu kredit. Misalnya toko online di internet yang sangat mengandalkan
pembayaran dengan kartu kredit. Kita tidak bisa membeli sebuah produk di
amazon.com dengan mengirim wessel pos.
Tapi kartu kredit juga tidak bisa dipakai
dengan segala kondisi. Selain itu dengan maraknya kasus carding atau pemalsuan
kartu kredit di internet terutama dari Indonesia, sampai-sampai transaksi
online bila pemesannya dari Indonesia tidak akan dilayani. Pada dasarnya,
prinsip kartu kredit ini memberikan uang pinjaman kepada pemegang kartu untuk
berbelanja di tempat-tempat yang menerima kartu tersebut. Setiap kali seseorang
berbelanja, maka pihak penerbit kartu memberi pinjaman uang untuk membayar
harga belanjaan.
Untuk itu seseorang akan dikenakan biaya
beberapa persen dari uang yang dipinjamnya yang menjadi keuntungan pihak
penerbit kartu kredit. Biasanya uang pinjaman itu bila segera dilunasi dan
belum jatuh tempo tidak atau belum dikenakan bunga, yaitu selama masa waktu
tertentu misalnya satu bulan dari tanggal pembelian.
Tapi bila telah lewat satu bulan itu dan
tidak dilunasi, maka akan dikenakan bunga atas pinjaman tersebut yang besarnya
bervariasi antara masing-masing perusahaan. Jadi bila dilihat secara syariah,
kartu kredit itu mengandung dua hal. Pertama, pinjaman tanpa bunga yaitu bila
dilunasi sebelum jatuh tempo. Kedua, pinjaman dengan bunga yaitu bila dilunasi
setelah jatuh tempo.
Bila seseorang bisa menjamin bahwa tidak
akan jatuh pada opsi kedua, maka menggunakan kartu kredit untuk berbelanja adalah
halal hukumnya. Tapi bila sampai jatuh pada opsi kedua, maka menjadi haram
hukumnya karena menggunakan praktek riba yang diharamkan oleh Allah SWT.
B.
Bunga
Bank
Riba secara mutlak telah diharamkan oleh Allah swt dan Rasuluullah
saw memalui ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Diantara nash-nash
itu adalah :
1.
Al-Quran
Al-Quran
mengharamkan riba dalam empat marhalah / tahap. Doktor Wahbat Az-Zuhaili dalam
Tafsir Al-Munir menjelaskan tahapan pengharam riba adalah sebagai berikut
- Tahap Pertama
Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(QS.
Ar-Ruum : 39 )
Ayat ini
turun di Mekkah dan menjadi tamhid diharamkannya riba dan urgensi untuk
menjauhi riba.
Tahap
Kedua
فبظلم من الذين هادوا حرمنا عليهم طيبات أحلت لهم
وبصدهم عن سبيل الله كثيرا. وأخذهم الربا وقد نهوا عنه وأكلهم أموال الناس
بالباطل وأعتدنا للكافرين منهم عذابا أليما
Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. (QS.
An-Nisa : 160-61)
Ayat ini
turun di Madinah dan menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan
dihukum Allah. Ayat ini merupakan peringatan bagi pelaku riba.
- Tahap
Ketiga
يآأيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا أضعافا
مضاعفة واتقوا الله للكم تفلحون
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Ali
Imran : 130)
Pada
tahap ini Al-Quran mengharamkan jenis riba yang bersifat fahisy, yaitu riba
jahiliyah yang berlipat ganda.
- Tahap
Keempat
يآأيها الذين آمنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من
الربا إن كنتم مؤمنين . فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وإن تبتم فلكم
رؤس أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Al-Baqarah
: 278-279)
Pada
tahap ini Al-Quran telah mengharamkan seluruh jenis riba dan segala macamnya.
Alif lam pada kata (الربا) mempunyai fungsi lil
jins, maksudnya diharamkan semua jenis dan macam riba dan bukan hanya pada
riba jahiliyah saja atau riba Nasi'ah. Hal yang sama pada alif lam pada kata (البيع) yang berarti semua jenis jual-beli.
2.
As-Sunah
As-Sunnah
juga menjelaskan beberapa praktek riba dan larangan bagi pelakunya : Rasulullah
saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau
bersabda : mereka semua sama .
Dalam
hadits lain disebutkan :
Diriwayatkan
oleh Aun bin Abi Juhaifa,'Ayahku membeli budak yang kerjanya membekam. Ayahku
kemudian memusnahkan alat bekam itu. Aku bertanya kepaa ayah mengapa beliau
melakukannya. Beliau menjawab bahwa Rasulullah saw. Melarang untuk menerima
uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan. Beliau juga
melaknat penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta melaknat
pembuat gambar.
Dengan
dalil-dalil qoth'i di atas, maka sesungguhnya tidak ada celah bagi umat Islam
untuk mencari-cari argumen demi menghalalkan riba. Karena dali-dalil itu sangat
sharih dan jelas. Bahkan ancaman yang diberikan tidak main-main karena Allah
memerangi orang yang menjalankan riba itu.
Pendapat yang mengharamkan bunga bank
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b
dan c :
-
bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank
tanpa riba hukumnya halal
-
bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara
kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya
yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
-
2. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di
Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah
riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan
riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank
hukumnya syubhat.
3. Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di
Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah menyepakati dua hal : Praktek Bank
dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam Perlu segera
didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam.
4. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak
tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya
sebagai riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama
besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas
terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas
keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank
konvensional. Diantara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar,
Prof . Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa', Dr.
Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom
dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pada pembahasan dalam makalah ini
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.
Hukum asal jual beli adalah mubah, namun bisa
menjadi wajib, mandub, makruh aau haram dengan kondisi tertentu.
2.
Allah mengharamkan segala jenis paktek riba
berdasarkan alasan yang sudah dipaparkan dalam pembahasan.
3.2 Saran
Makalah ini masih belum sempurna jika dilihat
dari penulisan maupun isi. Diharapkan kepada pembaca untuk mengambil yang baik
dalam makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Hafiz.2010.Fiqih Imam
Syafi’i. Jakarta: Almahira
Abdul
Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, 2007.Bidayatul
Mujtahid, Ghazali Said, Terj. “Bidayatul Mujtahid”, Jakarta: Pustaka Amani
Alaudin
Al-Kasyani, Bada’I Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-syarai’. Syirkah
Al-Mathbu’ah, Mesir
Al-Fiqihul
Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-zuhaili jilid 4
Azharudin Lathif, 2005.Fiqh Muamalat.Jakarta:
UIN Jakarta Press
Aziz MA, Abdul. 2009.Fiqh Ibadah.Jakarta :Amzah
Dewi
,Gemala. 2005 .Hukum Perikatan Islam di
Indonesia Cet. Ke
1,Jakarta:Prenada Media Ya‟qub
Dimyauddin Djuwaini. 2008.Pengantar
fiqh muamalah..Yogyakarta :Pustaka
Pelajar
Hamzah.1992.Kode Etik Dagang
Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Bandung:
CV.Diponegoro
Ibnu Qudamah. Al-Mugni. Mathba’ah Al-Imam, Mesir
Kifayatul Akhyar
Mughni Al-Muhtaj jilid 2
Muhammad Asy-Syarbini. Mugni al-muhtaj.
Rahmat Syafi‟i, 2001.Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia
Sayyid Sabiq. 2011.Fiqih
Sunnah.Semarang Pena Publishing
Shohih Imam Bukhori
Sudarsono,
1992.Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta
Wahbah Zuhaili, 2010 Al-Fiqhu
As-Syafi‟i Al-Muyassar Cet. Ke-1,
Terj. Muhammad Afifi,
Wardi Muslich,Ahmad,Fiqh
Muamalah. Jakarta : PT Sinar
Grafika
[1] Alaudin
Al-Kasyani, Bada’I Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-syarai’. Juz V hlm.133
[2] Muhammad
Asy-Syarbini. Mugni al-muhtaj. Juz II. hlm 2
[3] Ibnu Qudamah. Al-Mugni.
Juz III. Hlm 559
[5]
Mazhab Hanbali menetapkan bahwa kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan,
hukumnya tidak najis.
[6]
Kifayatul Akhyar jilid 1 halaman 236
[8]
Ibid. hlm. 25.
[9]
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm.
408.
[10]
Ahmad Wardi Muslich. op.cit. hlm.
216.
[11]
Hamzah Ya‟qub. op. cit. hlm. 153.
[12]
Imam Bukhori, op.cit. hlm. 26.
[13] Imam Bukhori, Ibid. hlm.
25.
[14]
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, Jakarta:Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005, hlm. 80.
[15]
Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut
Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Bandung: CV.Diponegoro,
1992, hlm. 101.
[16]
Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit.
hlm. 177.
[17] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu
As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, “ Fiqih Imam
Syafi‟i”, Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676.
[18]
Imam Bukhori, loc.cit. hlm. 25.
[19]
Sudarsono, op.cit. hlm. 410.
[20]
Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit.hlm.
194.
[21]
Imam Bukhori. loc.cit. hlm. 25.
[22]
Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit.
hlm. 111.
[23]
Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm. 98.
[24]
Ahmad Wardi Muslih. op.cit. hlm. 233.
[25]
Sayyid Sabiq. op. cit. hlm. 161.
[26]
Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm.99.
[27] Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj. “Bidayatul Mujtahid”,
Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm.815.
[28]
Rahmat Syafi‟i, Fiqh Muamalah,
Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 90.
[29]
Sayyid Sabiq. op.cit. hlm. 158.
[30] Abdul Aziz
Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 217
[31] Rahcmat
Syafe’i, Fiqh Muamalah. Hlm 267-268
[1] Alaudin
Al-Kasyani, Bada’I Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-syarai’. Juz V hlm.133
[2] Muhammad
Asy-Syarbini. Mugni al-muhtaj. Juz II. hlm 2
[3] Ibnu Qudamah. Al-Mugni.
Juz III. Hlm 559
[5]
Mazhab Hanbali menetapkan bahwa kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan,
hukumnya tidak najis.
[6]
Kifayatul Akhyar jilid 1 halaman 236
[8]
Ibid. hlm. 25.
[9]
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm.
408.
[10]
Ahmad Wardi Muslich. op.cit. hlm.
216.
[11]
Hamzah Ya‟qub. op. cit. hlm. 153.
[12]
Imam Bukhori, op.cit. hlm. 26.
[13] Imam Bukhori, Ibid. hlm.
25.
[14]
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, Jakarta:Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005, hlm. 80.
[15]
Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut
Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Bandung: CV.Diponegoro,
1992, hlm. 101.
[16]
Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit.
hlm. 177.
[17] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu
As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, “ Fiqih Imam
Syafi‟i”, Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676.
[18]
Imam Bukhori, loc.cit. hlm. 25.
[19]
Sudarsono, op.cit. hlm. 410.
[20]
Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit.hlm.
194.
[21]
Imam Bukhori. loc.cit. hlm. 25.
[22]
Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit.
hlm. 111.
[23]
Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm. 98.
[24]
Ahmad Wardi Muslih. op.cit. hlm. 233.
[25]
Sayyid Sabiq. op. cit. hlm. 161.
[26]
Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm.99.
[27] Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj. “Bidayatul Mujtahid”,
Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm.815.
[28]
Rahmat Syafi‟i, Fiqh Muamalah,
Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 90.
[29]
Sayyid Sabiq. op.cit. hlm. 158.
[30] Abdul Aziz
Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 217
[31] Rahcmat
Syafe’i, Fiqh Muamalah. Hlm 267-268
Langganan:
Postingan (Atom)